Penggunaan Antibiotika Pada Anak



Penggunaan Antibiotika Pada Anak
sumber : http://www.iwandarmansjah.web.id


Penggunaan antibiotika pada pasien anak

Antibiotika (AB) merupakan obat yang sangat berperan dalam memerangi infeksi yang ditimbulkan oleh kuman. Walaupun pemakaian AB yang baik berlaku untuk semua umur, AB untuk populasi pediatrik perlu memperoleh perhatian khusus karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan. Klinik dokter anak dipenuhi dengan pasien anak yang hampir setiap 1-3 minggu datang kembali - kebanyakan - dengan keluhan yang sama, yaitu demam, batuk dan pilek. Hal ini merupakan fenomen yang tidak terjadi di negara Barat. Anak kecil, terutama bayi, membutuhkan pertumbuhan sehat tanpa AB bila memang tidak ada kepastian infeksi kuman.

Yang lebih memprihatinkan lagi ialah bahwa populasi anak memang merupakan golongan umur yang tidak mempunyai data tentang pemakaiannya, karena tidak / jarang dilakukan uji klinik seperti terhadap orang dewasa. Dosis obatnya-pun tidak dilakukan dose-ranging studies (studi penentuan dosis) yang cukup kompleks. Walaupun tidak ada peraturan yang tidak membolehkan penelitian pada anak di seluruh dunia, perijinan obat pada anak jarang diberikan secara khusus oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, dan anehnya tidak diminta oleh FDA sebagai syarat perijinan pemasaran. Hal ini berlaku di seluruh dunia, seolah ada hambatan melakukan studi pada anak. Khusus di Jepang wanita juga tidak boleh (dilarang) dipakai sebagai subyek percobaan uji klinik. Hal ini menimbulkan tidak adanya data pada kedua jenis manusia tentang pemakaian obat. Pada hal orang tua diminta juga datanya oleh FDA bila diperlukan, karena mereka khusus bereaksi lain dibanding populasi muda.

Selain itu, juga selalu dikatakan bahwa anak bukanlah merupakan orang dewasa kecil, karena mereka memiliki sifat2 yang bisa sangat berbeda. Ini menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan /berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik ini sering tidak bisa diterapkan, karena berlaku bahwa ‘anak bukan dewasa kecil’. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh. Obat, seperti oseltamivir (obat flu burung), juga lebih mudah melewati sekat darah-otak (blood-brain barrier) pada bayi, sehingga efek samping kematian bisa mengejutkan. Hasil penelitian pada anak sulit diperoleh dan juga tidak mudah dilakukan, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping dan dosis, terutama tidak ada. Dokter anak , anehnya, harus mengobati tanpa bukti (evidence), yang berbeda dengan orang dewasa yang sering diteliti sangat jelimet dan menghabiskan biaya luar biasa. Ini dapat dimengerti jika kita ketahui bahwa sebagian besar ini dibiayai pabrik obat untuk obat2 yang banyak dipakai seperti obat darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, cancer, dsb. Penelitian yang mahal sekalipun sering membawa keuntungan yang sangat banyak, bila memperoleh hasil yang superior dibanding obat produksi lawannya. Satu-dua obat seperti itu, yang disebut ‘blockbuster’ (sales lebih dari $ billions) sudah dapat menutupi keuntungan untuk semua obat yang dimiliki pabrik.

Baru sejak akhir abad yang lalu dibuat undang-undang di Amerika Serikat yang disebut Pediatric Exclusivity Right untuk ‘anjuran’ pabrik obat melakukan uji klinik pada anak dengan ‘upah eksklusif’ memperoleh waktu hak paten tambahan sepanjang ~ ½ tahun. Setelah peraturan ini sekitar 500 obat telah dilakukan uji klinik baru/tambahan (terutama di Canada dan AS) untuk anak, walaupun hanya diperlukan 1-2 uji klinik saja. Ini jelas tidak memenuhi kebutuhan uji klinik untuk evaluasi obat yang baik. Semua ini membutuhkan pekerjaan di bidang Pediatric Clinical Pharmacology yang pertama berkembang terbaik di Canada di tahun 2000-an dan sebelumnya.

Di Asia dan Indonesia penelitian uji klinik untuk anak perlu sekali dimajukan, karena banyak obat tidak jelas kegunaannya dan besar dosisnya. Penentuan dosis obat-jadi (dewasa dan anak) dilakukan oleh industri yang menyontek dari dosis anak di negara penemu obat, yang juga ditentukan tanpa penelitian. Ini menyebabkan kita tidak pernah bisa menakar dosis pada anak dengan benar. Misalnya saja, dosis untuk obat dasar yang banyak dipakai pasien anak, seperti parasetamol.efedrin, CTM, atau kodein jelas terlalu besar. Ini menyebabkan dokter yang sadar tentang overdose yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia perlu membuat resep racikan yang lebih sesuai. Bila anak diberi parasetamol dan kemudian berkeringat banyak, ini mungkin tandanya dosis terlalu besar, namun tidak semua kasus overdose bisa memiliki tanda seperti ini.

Di negara maju, obat untuk anak hanya sedikit digunakan karena anak sebenarnya merupakan mahluk yang jarang sakit, terutama bila diberi air susu ibu cukup karena mengandung bahan2 imunitas tubuh secara alamiah. Walaupun demikian pertumbuhan anak dihadang oleh berbagai penyakit yang belum dimiliki daya imunitasnya, terutama virus. Namun penyakit virus seperti ini sebagian besar tidak berbahaya karena sembuh sendiri, dan anak yang sehat segera akan membuat zat anti (imunitas) yang tangguh. Jadi mengisolasi anak di rumah saja tidaklah bijak, sebaliknya membawa anak bermain di mall menimbulkan pemaparan terhadap banyak jenis virus sekaligus. Sekolahpun menimbulkan pemaparan yang sangat intens karena hubungan dengan teman2 baru – yang sering menularkan virus lewat jalan pernapasan yang biasa merupakan penyakit anak seperti cacar air, gondongan, measles, flu, dsb. Setelah periode pertumbuhan di sekolah SD maka anak menjadi lebih tahan terhadap penyakit virus. Pemaparan terhadap berbagai virus merupakan ‘pembelajaran’ sistem imun tubuh anak yang tidak bisa dihindarkan dan harus terjadi dalam proses tumbuh kembang anak.

Dari data National Center for Health Statistics di AS (JAMA 1998) diperoleh bahwa AB ialah obat yang paling sering dipakai untuk anak, yaitu 75% dari semua kunjungan klinik (outpatient visits). Di Canada angka ini juga sebesar 74%. AB ini dipakai untuk 5 penyakit utama yaitu: otitis media, sinusitis, bronchitis, pharyngitis, dan infeksi asluran napas atas non- spesifik (virus). Data ini telah diperoleh sebelum 1998, karena semua penyakit di atas sekarang telah dibuktikan dalam banyak uji klinik di banyak negara bahwa AB sama hasilnya dengan plasebo, alias tidak efektif. Juga di negara Barat sekarang pemakaian AB untuk ke-lima penyakit virus anak itu tidak dipakai lagi karena evidence-nya sangat kuat. Namun, diperlukan obat2 simtomatik (mengurangkan gejala seperti pilek dan batuk, atau demam) untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangkan penderitaan, sambil istirahat.

Di Indonesia peresepan AB untuk penyakit2 virus masih marak (mungkin ~ 90%), menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, (justru) memperpanjang lamanya penyakit, membunuh kuman yang baik dalam tubuh (karena memang tidak ada kuman yang jahat), efek samping AB bertambah banyak, menimbulkan resistensi kuman terhadap AB yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri, kemungkinan komplikasi lebih besar, dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya secara mubazir. Penyakit virus tidak perlu diobati AB bila ditemukan tanpa komplikasi. Antibiotik, misalnya amoksisilin juga tidak tepat untuk dipakai rutin sebagai obat pencegah komplikasi karena komplikasi sangat jarang (mungkin ~ 2 - 3 %) terjadi dan bila terjadi-pun antibiotiknya harus yang terpilih khas dan khusus efektif untuk kuman yang akan menghinggapi, dan ini tidak bisa diramalkan. Sebagai kesimpulan, antibiotik untuk gondongan, measles, atau cacar air dan 5 jenis penyakit virus yang disebut di atas sebaiknya tidak dipakai lagi secara rutin oleh dokter kita dan masyarakat supaya tidak justru menagih pada dokter yang akan mengobatinya.

Dr Iwan Darmansjah
Mantan Ketua Panitia Evaluasi Obat, Departemen Kesehatan

Hati-hati Minum Obat Pilek

HATI-HATI MINUM OBAT PILEK
Dr. Iwan Darmansjah, SpFK



sumber : http://www.iwandarmansjah.web.id 

Suatu penelitian retrospektif yang dilaporkan di New England Journal of Medicine (NEJM) baru saja diumumkan lewat internet mendahului publikasi resmi. Sudah tentu karena makalah berjudul “Phenylpropanolamine and the Risk of Hemorrhagic Stroke” itu dianggap penting untuk segera disebarluaskan.
Fenilpropanolamin (FPA) memang banyak dipakai dalam obat pilek dan penghilang nafsu makan, meski sejak 20 tahun silam dilaporkan adanya kasus perdarahan di selaput otak atau di dalam otak setelah makan FPA. Ia merupakan salah satu komponen simpatomimetika (berefek serupa perangsangan saraf simpatik) yang digunakan dalam obat pilek. Menurut urutan efektivitasnya, komponen sejenis dalam obat pilek adalah efedrin, pseudoefedrin, FPA, dan etilefrin. Obat pilek berbahan komponen tersebut bekerja dengan menyempitkan pembuluh darah di selaput lendir hidung, sehingga pembentukan lendir berkurang. Di samping itu masih ada golongan antihistamin yang mempunyai efek lemah untuk membantu meringankan gejala melalui efek antialergi, yang sering menyertai pilek Biasanya dua komponen ini dicampur dalam obat pilek. Komponen lain, jika ada, merupakan tambahan yang berlebihan, kecuali bila obat tersebut memang diindikasikan pula untuk gejala lain, misalkan demam, sehingga ditambahkan analgetik seperti parasetamol.
Sebenarnya, kalau hanya untuk pilek, dosis FPA cukup 12,5 - 25 mg per tablet, per kali. Sayangnya, FPA banyak disalahgunakan untuk menguruskan badan. Sedangkan untuk mengurangi nafsu makan dibutuhkan dosis sebesar 75 mg atau lebih. Padahal justru pemakaian dosis besar telah dihubungkan dengan kejadian stroke hemoragik (berdarah), terutama pada wanita (umumnya wanita muda yang ingin kurus). Risiko kejadian pada wanita ini mencapai 16.58 kali lebih sering dibandingkan dengan kejadian stroke hemoragik pada orang yang tidak makan FPA. Sudah tentu risiko ini sangat tinggi, malahan lebih besar ketimbang risiko kejadian kanker paru-paru oleh rokok (+ 11.0). Karena pria jarang makan FPA untuk menguruskan diri, mungkin inilah penyebabnya angka risiko untuk wanita lebih besar dibandingkan dengan pria. FPA sudah lama saya kenal sebagai obat pilek yang kurang baik, bukan saja karena efektivitasnya lebih rendah, tetapi juga karena ia dapat meninggikan tekanan darah bila dipakai pada dosis 25 mg atau lebih. Di negeri kita, sekitar 10 tahun lalu, karena masalah efek sampingnya sudah dikenal bahkan waktu itu (hanya buktinya kurang solid)

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Depkes RI, memberlakukan pembatasan dosis FPA dalam obat pilek hingga 15 mg per tablet. Namun, entah mengapa banyak pabrik kemudian mendapat izin menggunakan FPA dalam dosis 25 mg. Padahal, bukankah hal ini dapat menambah risiko perdarahan di otak ? Itu sebabnya saya sangat setuju bila sebagai obat obesitas FPA sebaiknya dilarang, sedangkan sebagai obat pilek dibatasi dosisnya. Sementara itu etilefrin sifatnya juga seperti FPA dan kurang baik untuk pilek, sehingga perlu pengaturan baru oleh Ditjen POM. Tinggal efedrin dan pseudoefedrin yang cocok untuk obat pilek, karena dalam dosis kecil pun efektif, juga tidak menaikkan tekanan darah atau denyut jantung secara signifikan. Di antara kedua jenis komponen ini, sebenarnya efedrinlah yang lebih baik. Sayang sekali industri obat cenderung tidak menggunakannya, meski efektivitasnya unggul, semata-mata karena margin keuntungannya lebih rendah (fakta ini telah saya konfirmasikan dengan produsen obat pilek terbesar di AS, yang juga menggunakan FPA, dan diiyakan). Betapa pun, baik efedrin maupun pseudoefedrin dalam obat flu perlu dibatasi dosisnya.
Kini bagaimana kita sebagai konsumen mesti bersikap ? Saya kira ya jelas, pilihlah yang mengandung efedrin atau pseudoefedrin saja, dengan dosis kecil. Bila masih mau pakai FPA, ya juga dosisnya tidak lebih dari 15 mg/tablet saja, dan tentu jangan makan dua tablet sekaligus. Obat menguruskan badan janganlah dimakan sendiri tanpa petunjuk dokter. TAMBAHAN: Obat pilek untuk bayi dan anak terlupakan untuk diatur, rupanya ini juga mengandung FPA terlalu tinggi, malahan ada juga yang mengandung phenylephrine, yang efek sampingnya banyak.



INTISARI,2001(updated Sep 2005)

MEMILIH SEKOLAH YANG TEPAT


LP3T NURUL FIKRI MEMBANGGAKAN

Nah, sebagai Kursus Komputer dan Pendidikan Komputer (IT Training, IT Education), NF sudah sangat berpengalaman loh. NF berani bilang sebagai Home of Linux (Rumahnya Linux) karena memang merupakan Pelopor Training Linux dan Open Source di Indonesia. Wow! Benar kok. Sejak 1994 (Lah Linux aja ditemukan oleh Linus Torvalds Tahun 1991) NF sudah pakai Linux di Divisi Komputernya Yayasan Nurul Fikri. After That, berkembang deh dan buka Pelatihan Linux untuk Umum di tahun 1998. Makanya jangan heran, banyak alumni NF Computer ini yang bikin usaha solusi IT sendiri, jadi instruktur kursus dan pelatihan komputer khususnya Linux di tempat lain dan sebagainya.

Nah kalau program pendidikan, adanya Kuliah IT Program Profesi. Lulusnya ga lama, satu tahun untuk Program Profesi Satu Tahun (PPST) dan dua tahun untuk Program Profesi Dua Tahun (PPDT). Program yang kedepannya diharapkan akan jadi cikal bakal Sekolah Tinggi Teknologi NF (amin, doain ya) ini sudah menghasilkan ratusan lulusan yang sudah bekerja sebagai profesional IT, berwirausaha di bidang IT dan juga melanjutkan ke perguruan tinggi yang bekerjasama dengan NF. Ini sesuatu yang membanggakan, gak hanya buat NF Computer, tapi juga alumninya yang dengan mudah bisa mencari kerja sesuai dengan minatnya. Gak asal disalurkan kerja ya.

Juga NF gak perlu tuh, menjamin kerja. Tanpa itu, 99% lulusan sudah BERPENGHASILAN sendiri kok. Kalau mahasiswa ingin jadi wirausaha IT, profesional IT yang buka usaha sendiri ya knapa dipaksa kerja. Belum lagi kalau tidak cocok, misal gaji tidak sesuai, lokasi jauh dan seterusnya. Ya terserah deh sama alumni mau kemana. Yang penting kontak-kontak aja NF, karena buanyaaak sekali lowongan yang khusus untuk alumni NF. Sebab sudah banyak dipercaya perusahaan bahwa lulusannya selain Jagoan Linux, juga berakhlak mulia (amin). Itulah konsep “TERPADU” nya NF yang membedakan dengan pendidikan sejenis. Cek aja deh di kurikulumnya yang ada disini. Saya tantangin buat ngasih lembaga sejenis lain yang punya kurikulum seperti itu! Dan dengan biaya pendidikan yang terjangkau loh untuk ukuran Kuliah IT. Apalagi masalah Lab komputer, ga rebutan. Repot kan kalau ada Kuliah IT yang untuk pake komputer aja seminggu dua kali ke Lab hehe.. kapan pinternya? Di NF, Setau saya, satu orang satu PC dan NF artinya tempat terbatas nih.

Anda baru lulus, dari IPA maupun IPS? Atau karyawan yang mau meningkatkan skill, mau pindah kuadran, or yang masih mahasiswa en mau ngedobel, juga pengangguran silakan aja masuk program ini. Sebab yang saya sebutkan sebelumnya itu adalah komposisi mahasiswa PPST dan PPDT saat ini loh! Jadi memang sangat beragam dan di kelas, kamu bisa saling diskusi dan salin membantu karena kelas yang latar belakangnya berbeda-beda. Asyik kan, malah bisa nambah jaringan teman nih buat merajut masa depan #aha!
 
Ya, LP3T-NF itu Membanggakan. Bagi saya sih, bagi kamu, mungkin juga kalau kamu mau coba.

Coba aja hubungi Kampus terdekat di Jaksel (Mampang), Jakbar (Grogol), Jaktim (Rawamangun), Depok (Margonda dan Cinere), Bekasi (Sentra Niaga). Biar mereka yang jelasin dah, siapa tau sedang ada diskon dan fasilitas menarik lainnya. Ini bukan promosi ya tapi informasi hehehe.. ya, sisanya terserah Anda kan?