Penggunaan Antibiotika Pada Anak



Penggunaan Antibiotika Pada Anak
sumber : http://www.iwandarmansjah.web.id


Penggunaan antibiotika pada pasien anak

Antibiotika (AB) merupakan obat yang sangat berperan dalam memerangi infeksi yang ditimbulkan oleh kuman. Walaupun pemakaian AB yang baik berlaku untuk semua umur, AB untuk populasi pediatrik perlu memperoleh perhatian khusus karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan. Klinik dokter anak dipenuhi dengan pasien anak yang hampir setiap 1-3 minggu datang kembali - kebanyakan - dengan keluhan yang sama, yaitu demam, batuk dan pilek. Hal ini merupakan fenomen yang tidak terjadi di negara Barat. Anak kecil, terutama bayi, membutuhkan pertumbuhan sehat tanpa AB bila memang tidak ada kepastian infeksi kuman.

Yang lebih memprihatinkan lagi ialah bahwa populasi anak memang merupakan golongan umur yang tidak mempunyai data tentang pemakaiannya, karena tidak / jarang dilakukan uji klinik seperti terhadap orang dewasa. Dosis obatnya-pun tidak dilakukan dose-ranging studies (studi penentuan dosis) yang cukup kompleks. Walaupun tidak ada peraturan yang tidak membolehkan penelitian pada anak di seluruh dunia, perijinan obat pada anak jarang diberikan secara khusus oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, dan anehnya tidak diminta oleh FDA sebagai syarat perijinan pemasaran. Hal ini berlaku di seluruh dunia, seolah ada hambatan melakukan studi pada anak. Khusus di Jepang wanita juga tidak boleh (dilarang) dipakai sebagai subyek percobaan uji klinik. Hal ini menimbulkan tidak adanya data pada kedua jenis manusia tentang pemakaian obat. Pada hal orang tua diminta juga datanya oleh FDA bila diperlukan, karena mereka khusus bereaksi lain dibanding populasi muda.

Selain itu, juga selalu dikatakan bahwa anak bukanlah merupakan orang dewasa kecil, karena mereka memiliki sifat2 yang bisa sangat berbeda. Ini menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan /berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik ini sering tidak bisa diterapkan, karena berlaku bahwa ‘anak bukan dewasa kecil’. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh. Obat, seperti oseltamivir (obat flu burung), juga lebih mudah melewati sekat darah-otak (blood-brain barrier) pada bayi, sehingga efek samping kematian bisa mengejutkan. Hasil penelitian pada anak sulit diperoleh dan juga tidak mudah dilakukan, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping dan dosis, terutama tidak ada. Dokter anak , anehnya, harus mengobati tanpa bukti (evidence), yang berbeda dengan orang dewasa yang sering diteliti sangat jelimet dan menghabiskan biaya luar biasa. Ini dapat dimengerti jika kita ketahui bahwa sebagian besar ini dibiayai pabrik obat untuk obat2 yang banyak dipakai seperti obat darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, cancer, dsb. Penelitian yang mahal sekalipun sering membawa keuntungan yang sangat banyak, bila memperoleh hasil yang superior dibanding obat produksi lawannya. Satu-dua obat seperti itu, yang disebut ‘blockbuster’ (sales lebih dari $ billions) sudah dapat menutupi keuntungan untuk semua obat yang dimiliki pabrik.

Baru sejak akhir abad yang lalu dibuat undang-undang di Amerika Serikat yang disebut Pediatric Exclusivity Right untuk ‘anjuran’ pabrik obat melakukan uji klinik pada anak dengan ‘upah eksklusif’ memperoleh waktu hak paten tambahan sepanjang ~ ½ tahun. Setelah peraturan ini sekitar 500 obat telah dilakukan uji klinik baru/tambahan (terutama di Canada dan AS) untuk anak, walaupun hanya diperlukan 1-2 uji klinik saja. Ini jelas tidak memenuhi kebutuhan uji klinik untuk evaluasi obat yang baik. Semua ini membutuhkan pekerjaan di bidang Pediatric Clinical Pharmacology yang pertama berkembang terbaik di Canada di tahun 2000-an dan sebelumnya.

Di Asia dan Indonesia penelitian uji klinik untuk anak perlu sekali dimajukan, karena banyak obat tidak jelas kegunaannya dan besar dosisnya. Penentuan dosis obat-jadi (dewasa dan anak) dilakukan oleh industri yang menyontek dari dosis anak di negara penemu obat, yang juga ditentukan tanpa penelitian. Ini menyebabkan kita tidak pernah bisa menakar dosis pada anak dengan benar. Misalnya saja, dosis untuk obat dasar yang banyak dipakai pasien anak, seperti parasetamol.efedrin, CTM, atau kodein jelas terlalu besar. Ini menyebabkan dokter yang sadar tentang overdose yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia perlu membuat resep racikan yang lebih sesuai. Bila anak diberi parasetamol dan kemudian berkeringat banyak, ini mungkin tandanya dosis terlalu besar, namun tidak semua kasus overdose bisa memiliki tanda seperti ini.

Di negara maju, obat untuk anak hanya sedikit digunakan karena anak sebenarnya merupakan mahluk yang jarang sakit, terutama bila diberi air susu ibu cukup karena mengandung bahan2 imunitas tubuh secara alamiah. Walaupun demikian pertumbuhan anak dihadang oleh berbagai penyakit yang belum dimiliki daya imunitasnya, terutama virus. Namun penyakit virus seperti ini sebagian besar tidak berbahaya karena sembuh sendiri, dan anak yang sehat segera akan membuat zat anti (imunitas) yang tangguh. Jadi mengisolasi anak di rumah saja tidaklah bijak, sebaliknya membawa anak bermain di mall menimbulkan pemaparan terhadap banyak jenis virus sekaligus. Sekolahpun menimbulkan pemaparan yang sangat intens karena hubungan dengan teman2 baru – yang sering menularkan virus lewat jalan pernapasan yang biasa merupakan penyakit anak seperti cacar air, gondongan, measles, flu, dsb. Setelah periode pertumbuhan di sekolah SD maka anak menjadi lebih tahan terhadap penyakit virus. Pemaparan terhadap berbagai virus merupakan ‘pembelajaran’ sistem imun tubuh anak yang tidak bisa dihindarkan dan harus terjadi dalam proses tumbuh kembang anak.

Dari data National Center for Health Statistics di AS (JAMA 1998) diperoleh bahwa AB ialah obat yang paling sering dipakai untuk anak, yaitu 75% dari semua kunjungan klinik (outpatient visits). Di Canada angka ini juga sebesar 74%. AB ini dipakai untuk 5 penyakit utama yaitu: otitis media, sinusitis, bronchitis, pharyngitis, dan infeksi asluran napas atas non- spesifik (virus). Data ini telah diperoleh sebelum 1998, karena semua penyakit di atas sekarang telah dibuktikan dalam banyak uji klinik di banyak negara bahwa AB sama hasilnya dengan plasebo, alias tidak efektif. Juga di negara Barat sekarang pemakaian AB untuk ke-lima penyakit virus anak itu tidak dipakai lagi karena evidence-nya sangat kuat. Namun, diperlukan obat2 simtomatik (mengurangkan gejala seperti pilek dan batuk, atau demam) untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangkan penderitaan, sambil istirahat.

Di Indonesia peresepan AB untuk penyakit2 virus masih marak (mungkin ~ 90%), menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, (justru) memperpanjang lamanya penyakit, membunuh kuman yang baik dalam tubuh (karena memang tidak ada kuman yang jahat), efek samping AB bertambah banyak, menimbulkan resistensi kuman terhadap AB yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri, kemungkinan komplikasi lebih besar, dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya secara mubazir. Penyakit virus tidak perlu diobati AB bila ditemukan tanpa komplikasi. Antibiotik, misalnya amoksisilin juga tidak tepat untuk dipakai rutin sebagai obat pencegah komplikasi karena komplikasi sangat jarang (mungkin ~ 2 - 3 %) terjadi dan bila terjadi-pun antibiotiknya harus yang terpilih khas dan khusus efektif untuk kuman yang akan menghinggapi, dan ini tidak bisa diramalkan. Sebagai kesimpulan, antibiotik untuk gondongan, measles, atau cacar air dan 5 jenis penyakit virus yang disebut di atas sebaiknya tidak dipakai lagi secara rutin oleh dokter kita dan masyarakat supaya tidak justru menagih pada dokter yang akan mengobatinya.

Dr Iwan Darmansjah
Mantan Ketua Panitia Evaluasi Obat, Departemen Kesehatan

Hati-hati Minum Obat Pilek

HATI-HATI MINUM OBAT PILEK
Dr. Iwan Darmansjah, SpFK



sumber : http://www.iwandarmansjah.web.id 

Suatu penelitian retrospektif yang dilaporkan di New England Journal of Medicine (NEJM) baru saja diumumkan lewat internet mendahului publikasi resmi. Sudah tentu karena makalah berjudul “Phenylpropanolamine and the Risk of Hemorrhagic Stroke” itu dianggap penting untuk segera disebarluaskan.
Fenilpropanolamin (FPA) memang banyak dipakai dalam obat pilek dan penghilang nafsu makan, meski sejak 20 tahun silam dilaporkan adanya kasus perdarahan di selaput otak atau di dalam otak setelah makan FPA. Ia merupakan salah satu komponen simpatomimetika (berefek serupa perangsangan saraf simpatik) yang digunakan dalam obat pilek. Menurut urutan efektivitasnya, komponen sejenis dalam obat pilek adalah efedrin, pseudoefedrin, FPA, dan etilefrin. Obat pilek berbahan komponen tersebut bekerja dengan menyempitkan pembuluh darah di selaput lendir hidung, sehingga pembentukan lendir berkurang. Di samping itu masih ada golongan antihistamin yang mempunyai efek lemah untuk membantu meringankan gejala melalui efek antialergi, yang sering menyertai pilek Biasanya dua komponen ini dicampur dalam obat pilek. Komponen lain, jika ada, merupakan tambahan yang berlebihan, kecuali bila obat tersebut memang diindikasikan pula untuk gejala lain, misalkan demam, sehingga ditambahkan analgetik seperti parasetamol.
Sebenarnya, kalau hanya untuk pilek, dosis FPA cukup 12,5 - 25 mg per tablet, per kali. Sayangnya, FPA banyak disalahgunakan untuk menguruskan badan. Sedangkan untuk mengurangi nafsu makan dibutuhkan dosis sebesar 75 mg atau lebih. Padahal justru pemakaian dosis besar telah dihubungkan dengan kejadian stroke hemoragik (berdarah), terutama pada wanita (umumnya wanita muda yang ingin kurus). Risiko kejadian pada wanita ini mencapai 16.58 kali lebih sering dibandingkan dengan kejadian stroke hemoragik pada orang yang tidak makan FPA. Sudah tentu risiko ini sangat tinggi, malahan lebih besar ketimbang risiko kejadian kanker paru-paru oleh rokok (+ 11.0). Karena pria jarang makan FPA untuk menguruskan diri, mungkin inilah penyebabnya angka risiko untuk wanita lebih besar dibandingkan dengan pria. FPA sudah lama saya kenal sebagai obat pilek yang kurang baik, bukan saja karena efektivitasnya lebih rendah, tetapi juga karena ia dapat meninggikan tekanan darah bila dipakai pada dosis 25 mg atau lebih. Di negeri kita, sekitar 10 tahun lalu, karena masalah efek sampingnya sudah dikenal bahkan waktu itu (hanya buktinya kurang solid)

Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Depkes RI, memberlakukan pembatasan dosis FPA dalam obat pilek hingga 15 mg per tablet. Namun, entah mengapa banyak pabrik kemudian mendapat izin menggunakan FPA dalam dosis 25 mg. Padahal, bukankah hal ini dapat menambah risiko perdarahan di otak ? Itu sebabnya saya sangat setuju bila sebagai obat obesitas FPA sebaiknya dilarang, sedangkan sebagai obat pilek dibatasi dosisnya. Sementara itu etilefrin sifatnya juga seperti FPA dan kurang baik untuk pilek, sehingga perlu pengaturan baru oleh Ditjen POM. Tinggal efedrin dan pseudoefedrin yang cocok untuk obat pilek, karena dalam dosis kecil pun efektif, juga tidak menaikkan tekanan darah atau denyut jantung secara signifikan. Di antara kedua jenis komponen ini, sebenarnya efedrinlah yang lebih baik. Sayang sekali industri obat cenderung tidak menggunakannya, meski efektivitasnya unggul, semata-mata karena margin keuntungannya lebih rendah (fakta ini telah saya konfirmasikan dengan produsen obat pilek terbesar di AS, yang juga menggunakan FPA, dan diiyakan). Betapa pun, baik efedrin maupun pseudoefedrin dalam obat flu perlu dibatasi dosisnya.
Kini bagaimana kita sebagai konsumen mesti bersikap ? Saya kira ya jelas, pilihlah yang mengandung efedrin atau pseudoefedrin saja, dengan dosis kecil. Bila masih mau pakai FPA, ya juga dosisnya tidak lebih dari 15 mg/tablet saja, dan tentu jangan makan dua tablet sekaligus. Obat menguruskan badan janganlah dimakan sendiri tanpa petunjuk dokter. TAMBAHAN: Obat pilek untuk bayi dan anak terlupakan untuk diatur, rupanya ini juga mengandung FPA terlalu tinggi, malahan ada juga yang mengandung phenylephrine, yang efek sampingnya banyak.



INTISARI,2001(updated Sep 2005)

MEMILIH SEKOLAH YANG TEPAT


LP3T NURUL FIKRI MEMBANGGAKAN

Nah, sebagai Kursus Komputer dan Pendidikan Komputer (IT Training, IT Education), NF sudah sangat berpengalaman loh. NF berani bilang sebagai Home of Linux (Rumahnya Linux) karena memang merupakan Pelopor Training Linux dan Open Source di Indonesia. Wow! Benar kok. Sejak 1994 (Lah Linux aja ditemukan oleh Linus Torvalds Tahun 1991) NF sudah pakai Linux di Divisi Komputernya Yayasan Nurul Fikri. After That, berkembang deh dan buka Pelatihan Linux untuk Umum di tahun 1998. Makanya jangan heran, banyak alumni NF Computer ini yang bikin usaha solusi IT sendiri, jadi instruktur kursus dan pelatihan komputer khususnya Linux di tempat lain dan sebagainya.

Nah kalau program pendidikan, adanya Kuliah IT Program Profesi. Lulusnya ga lama, satu tahun untuk Program Profesi Satu Tahun (PPST) dan dua tahun untuk Program Profesi Dua Tahun (PPDT). Program yang kedepannya diharapkan akan jadi cikal bakal Sekolah Tinggi Teknologi NF (amin, doain ya) ini sudah menghasilkan ratusan lulusan yang sudah bekerja sebagai profesional IT, berwirausaha di bidang IT dan juga melanjutkan ke perguruan tinggi yang bekerjasama dengan NF. Ini sesuatu yang membanggakan, gak hanya buat NF Computer, tapi juga alumninya yang dengan mudah bisa mencari kerja sesuai dengan minatnya. Gak asal disalurkan kerja ya.

Juga NF gak perlu tuh, menjamin kerja. Tanpa itu, 99% lulusan sudah BERPENGHASILAN sendiri kok. Kalau mahasiswa ingin jadi wirausaha IT, profesional IT yang buka usaha sendiri ya knapa dipaksa kerja. Belum lagi kalau tidak cocok, misal gaji tidak sesuai, lokasi jauh dan seterusnya. Ya terserah deh sama alumni mau kemana. Yang penting kontak-kontak aja NF, karena buanyaaak sekali lowongan yang khusus untuk alumni NF. Sebab sudah banyak dipercaya perusahaan bahwa lulusannya selain Jagoan Linux, juga berakhlak mulia (amin). Itulah konsep “TERPADU” nya NF yang membedakan dengan pendidikan sejenis. Cek aja deh di kurikulumnya yang ada disini. Saya tantangin buat ngasih lembaga sejenis lain yang punya kurikulum seperti itu! Dan dengan biaya pendidikan yang terjangkau loh untuk ukuran Kuliah IT. Apalagi masalah Lab komputer, ga rebutan. Repot kan kalau ada Kuliah IT yang untuk pake komputer aja seminggu dua kali ke Lab hehe.. kapan pinternya? Di NF, Setau saya, satu orang satu PC dan NF artinya tempat terbatas nih.

Anda baru lulus, dari IPA maupun IPS? Atau karyawan yang mau meningkatkan skill, mau pindah kuadran, or yang masih mahasiswa en mau ngedobel, juga pengangguran silakan aja masuk program ini. Sebab yang saya sebutkan sebelumnya itu adalah komposisi mahasiswa PPST dan PPDT saat ini loh! Jadi memang sangat beragam dan di kelas, kamu bisa saling diskusi dan salin membantu karena kelas yang latar belakangnya berbeda-beda. Asyik kan, malah bisa nambah jaringan teman nih buat merajut masa depan #aha!
 
Ya, LP3T-NF itu Membanggakan. Bagi saya sih, bagi kamu, mungkin juga kalau kamu mau coba.

Coba aja hubungi Kampus terdekat di Jaksel (Mampang), Jakbar (Grogol), Jaktim (Rawamangun), Depok (Margonda dan Cinere), Bekasi (Sentra Niaga). Biar mereka yang jelasin dah, siapa tau sedang ada diskon dan fasilitas menarik lainnya. Ini bukan promosi ya tapi informasi hehehe.. ya, sisanya terserah Anda kan?

Apa yang Harus Dilakukan Agar Anak Berperilaku Terpuji?

Dalam upaya membesarkan anak terkadang orang tua merasa kewalahan dan tidak tahu harus bagaimana menghadapi anaknya yang sulit diatur, tidak patuh, tidak peduli dan bahkan sering menyakiti perasaan orang tuanya (membentak dan melawan). Padahal mereka sudah merasa telah memberikan segala yang diinginkan anaknya seperti kebutuhan pendidikan, pakaian, mainan, dan makanan. Namun mengapa anak tetap saja tidak mau patuh, sopan, disiplin dan bertanggung jawab?


Perlu kita pahami bahwa seorang anak bukan hanya memerlukan kebutuhan jasmani saja seperti uang untuk membeli mainan dan makanan, sekolah di tempat yang bergengsi, dan pakaian yang mahal. Tetapi, ada kebutuhan lain yang dapat memberikan hidup anak akan menjadi lebih berarti. Kebutuhan tersebut adalah terpenuhinya kebutuhan rohani seperti kasih sayang, cinta, perhatian, dan pujian terutama dari orang-orang terdekatnya, orang tua.


Kita setuju bahwa rumah (keluarga) merupakan sekolah pertama bagi anak. Tempat dimana seorang anak pertama kali mendapatkan pelajaran tentang bagaimana ‘hidup’. Orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan dan membimbing anak bagaimana berperilaku. Untuk itu, ada beberapa unsur pokok yang perlu orang tua lakukan agar mudah dalam mendidik anak berperilaku terpuji (Mahmud Al-Khal’wi dan Muhammad Said Mursi 2007), yaitu memberikan kasih sayang, bersikap sabar, dan memberikan tauladan.


Cinta dan kasih sayang.
Pemaksaan dan kekerasan bukan merupakan cara yang baik dalam mendidik anak. Tindakan orang tua tersebut tidak akan mampu menyelesaikan masalah yang terjadi, justru sebaliknya. Pemaksaan atau kekerasan yang dilakukan oleh orang tua sebagai cara untuk mendidik anak dapat mendorong timbulnya masalah baru dalam diri anak. Anak akan mengalami luka bathin atau berperilaku keras dan kasar karena ia akan menganggap bahwa kekerasan dan pemaksaan adalah cara biasa untuk menyelesaikan masalah.

Sebagai orang tua yang mendambakan anak yang berperilaku terpuji, hendaklah mendidiknya dengan kelembutan, cinta dan kasih sayang. Seseorang akan mampu memberi sesuatu jika ia memiliki sesuatu untuk diberikan, begitu juga pada diri anak. Seorang anak akan mampu memberikan cinta, kasih sayang dan kelembutan jika ia memiliki semua itu.

Orang tua yang memberikan segudang cinta kepada anak mampu membuat anak menjadi ’jatuh cinta’ kepada orang tuanya. Kita semua tentu setuju bahwa jika seseorang telah jatuh cinta maka ia akan melakukan segalanya untuk membahagiakan orang yang dicintainya, begitu juga pada anak. Anak yang mencintai orang tuanya akan selalu mendengarkan kata-kata mereka dan tidak melakukan sesuatu yang akan mengecewakan orang tuanya.



Kesabaran.
Pada umumnya, sebuah proses yang dilakukan dengan tergesa-gesa tidak akan menghasilkan sesuatu yang maksimal. Contohnya, ketika seorang ibu membuat suatu makanan untuk pesta. Masakan yang dihasilkan sang ibu tersebut bila dilakukan dengan tergesa-gesa dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yang membuat tampilan, rasa ataupun warna makanan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Hal di atas akan sama hasilnya, jika orang tua membesarkan anak dengan sikap tidak sabar (terburu-buru). Mendidik, merawat dan membimbing anak selain perlu waktu tentunya memerlukan kesabaran dari pendidiknya, orang tua.

Proses membesarkan anak tidak mungkin dapat dilakukan dengan instan. Ada hal-hal tertentu yang memerlukan kesabaran dalam melaksanakannya, seperti pada saat orang tua menghadapi anak yang melakukan kesalahan atau ketika orang tua sedang menerapkan sikap disiplin kepada anak.

Tindakan menasehati, membimbing dan mengarahkan anak selain memerlukan ilmu dan keterampilan diperlukan juga sebuah kesabaran. Sering kali orang tua perlu mengingatkan, menasehati dan memberikan contoh berulang. Untuk itu, jika orang tua tergesa-gesa dalam bertindak kemungkinan masalah yang terjadi bukannya cepat selesai tetapi sebaliknya akan menimbulkan masalah baru seperti orang tua dan anak mengalami stress dan salah faham.

Teladan yang baik
Pada dasarnya anak senang meniru. Salah satu bentuk perilaku yang ia miliki diperolehnya dengan cara mencontoh dari orang-orang terdekatnya. Untuk itu, orang tua dan anggota keluarga lain perlu berhati-hati dalam bersikap dan bertindak terutama ketika sedang berada di dekat anak.

Anak belajar dari apa yang diperlihatkan kepadanya baik dengan sengaja maupun tidak disengaja. Orang tua tidak mungkin mengharapkan anaknya untuk tidak berbohong jika dalam berbicara orang tua selalu berbohong. Begitu juga dalam hal menanamkan perilaku terpuji pada anak ( Sabar, disiplin dan bertanggung jawab) perlu sebuah tauladan dari orang tua kepada anaknya.

sumber : http://ortubijakanakbaik.blogspot.com/

KELUARGA MUSLIM DALAM ANCAMAN

(Mewaspadai Upaya Liberalisasi Keluarga Melalui Ide Gender)

Oleh : Siti Nafidah

Pengantar

Terwujudnya keluarga ideal atau keluarga Islami tentu merupakan dambaan setiap orang. Siapapun akan berharap rumahtangga yang dibangunnya dipenuhi suasana sakinah mawaddah dan rahmah, dengan pasangan yang shaleh atau shalehah, suami atau isteri yang menyejukan mata dan jiwa, serta anak-anak yang cerdas dan berbakti. Terlebih jika berbagai kebutuhan hidup bisa dicukupi dengan mudah, atau setidaknya tidak sesulit yang kita rasakan saat ini. Tentulah kehidupan yang dijalani akan begitu indah bagaikan di surga dunia.

Sayangnya, mewujudkan keluarga ideal semacam ini bukan sesuatu yang mudah. Sistem sekuler yang mengungkung masyarakat kita saat ini membuat kehidupan serba sempit. Berbagai krisis terus mewarnai kehidupan masyarakat, mulai dari krisis politik yang berujung konflik, krisis ekonomi, krisis moral dan budaya, krisis sosial, dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan adanya benturan-benturan nilai akibat berkembangnya pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam..

Kenyataan ini mau tidak mau berdampak pula pada kehidupan keluarga muslim. Jarang ditemui keluarga muslim yang benar-benar bisa menegakkan nilai-nilai Islam. Keluarga Muslim, bahkan ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik dan individualistik. Tak sedikit pula keluarga muslim yang turut goyah bahkan terguncang, hingga angka perceraian dan trend single parent terus meningkat. Dampaknya bisa ditebak. Kenakalan anak dan remaja juga menjadi potret buram umat Islam saat ini yang tentu saja akan menjadi ancaman serius bagi nasib umat Islam di masa depan.

Kondisi seperti ini terjadi tak terkecuali di Jawa Barat. Bahkan tercatat, tingkat perceraian, kriminalitas remaja (geng motor), HIV/AIDS, narkoba, seks bebas dan aborsi di Jawa Barat menempati peringkat papan atas di seluruh Indonesia.

Kenapa terjadi ?

Setidaknya ada dua faktor penyebab kenapa kondisi di atas bisa terjadi. Pertama, faktor internal umat Islam yang lemah secara akidah sehingga tidak memiliki visi-misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan keluarga, fungsi dan aturan-aturan main di dalamnya.

Kedua, faktor eksternal, berupa adanya upaya konspirasi asing untuk menghancurkan umat Islam dan keluarga muslim melalui serangan berbagai pemikiran dan budaya sekuler yang rusak dan merusak, terutama paham liberalisme yang menawarkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku, beragama maupun dalam kepemilikan. Paham ini secara langsung telah mengeliminir peran agama dari pengaturan kehidupan manusia, sekaligus menjadikan manusia menjadi Rabbul ‘Alamin yang bebas menentukan arah dan cara hidupnya, termasuk yang terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.

Dengan paham ini, umat Islam dikondisikan untuk ‘merasa malu’ terikat dengan hukum-hukum Islam. Terlebih, hukum-hukum Islam memang sengaja dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam sebagai aturan-aturan yang kolot, anti kemajuan, ekslusif, bias gender dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sebagai gantinya, umat Islam justru menuntut penerapan berbagai aturan yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan itu bertentangan dengan syari’at agama mereka.

Konspirasi ini secara massif dilakukan ke dunia Islam melalui peran lembaga-lembaga Internasional terutama PBB yang hakekatnya merupakan alat penjajahan Barat. Melalui berbagai event, PBB, atas pesanan negara-negara Barat Kapitalis mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, BPFA dll yang spiritnya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Berbagai konvensi dan hasil kesepakatan ini kemudian dipaksa untuk dirativikasi/diadopsi oleh seluruh negara-negara di dunia melalui blow up opini, tekanan politik, syarat bantuan dan lain-lain. Hanya saja, tak sedikit negara-negara di dunia yang dengan sukarela mengadopsi dan menjadikannya sebagai “kitab suci” atau rujukan bagi peraturan-peraturan publik yang diterapkan atas masyarakatnya, termasuk di dunia Islam.

Lahirlah berbagai UU sekuler yang pro liberal di negeri-negeri tersebut dengan bantuan sponsorship para kapitalis (TAF, USAID, World Bank, dll) dan advokasi dari mereka. Di Indonesia sendiri, lahir UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, draft CLD KHI, Rancangan Amandemen UU Perkawinan, Kesehatan Reproduksi dan Hukum Materil Peradilan Agama, yang kesemuanya mengandung ruh dan content (isi) yang sama persis dengan ‘kitab suci’ yang diwahyukan musuh Islam tadi.

Sebagai contoh, pasal 51 ayat 1 DUHAM 1948 berbunyi: Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. Sedangkan Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan antara lain memuat tentang hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut; hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, dan lain-lain.

Jika dicermati isi deklarasi dan konvensi ini nyaris sama dengan berbagai kebijakan yang sudah diundangkan maupun yang masih berupa draft rancangan UU. Kesemuanya mengandung spirit pembebasan dari aturan Islam, termasuk merombak pola interaksi, peran dan fungsi perempuan sebagaimana diajarkan Islam sekaligus menghapus kepemimpinan suami, yang berujung pada upaya mendesakralisasi lembaga perkawinan sekaligus membuka keran kebebasan atas nama kesetaraan dan HAM. Sebagai contoh, UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam. UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga. Begitupun, amandemen UU Kesehatan memuat aturan yang ‘bergesekan’ dengan hukum Islam, semisal mencegah nikah dini, tapi memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. Sedangkan UU PA memberi peluang kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku, termasuk kebebasan beragama.

Di tingkat akar rumput, upaya ini diperkuat dengan gerakan massif seluruh operator lapangan dan event organizer mereka dari kalangan LSM liberal dan LSM gender yang mereka danai dan mereka bina. Sedangkan di level atas, konspirasi juga dilakukan bersama para penguasa yang menjadi antek Barat melalui penerapan sistem sekuler yang selain bertentangan dengan Islam, keberadaaannya justru mengokohkan liberalisasi, semisal dengan menerapkan sistem politik yang opportunistik, sistem ekonomi yang kapitalistik, sistem budaya yang hedonistik, sistem sosial yang individualistik dan lain-lain. Disamping akan melahirkan kerusakan, penerapan sistem sekuler seperti ini, pada saat yang sama justru mengukuhkan hegemoni kapitalisme atas kaum muslimin.

Mengapa konspirasi penghancuran ini dilakukan, tidak lain karena Islam dan umat Islam memiliki potensi ancaman bagi hegemoni peradaban Barat (kapitalisme global). Selain potensi sumberdaya manusia yang sangat besar berikut sumberdaya alamnya yang melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan mampu menandingi sistem kapitalisme global.

Di samping itu, keluarga muslim saat ini masih berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan individu, setelah hukum-hukum Islam lainnya menyangkut aspek sosial dan kenegaraan berhasil mereka hancurkan. Terpeliharanya sisa-sisa hukum-hukum Islam oleh keluarga-keluarga Muslim ini pun masih menyimpan potensi besar dalam melahirkan generasi-generasi pejuang yang menjadi harapan umat di masa depan. Inilah yang mereka takutkan. Dari keluarga-keluarga muslim ini, akan lahir sosok muslim militan yang siap menghancurkan hegemoni mereka atas dunia.

Itulah kenapa, mereka sungguh-sungguh berupaya menghancurkan keluarga muslim dengan berbagai cara. Diantaranya, dengan berupaya menjauhkan para muslimah dari cita-cita menjadi ibu atau dari penyempurnaan peran ibu. Secara sistem, diciptakanlah kemiskinan struktural melalui penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarga dan karenanya peran ibu tidak bisa optimal. Selain itu, mereka racuni benak para muslimah dengan berbagai pemikiran yang merusak semisal ide emansipasi atau keadilan dan kesetaraan gender dan kebebasan, sehingga para muslimah lebih tertarik mengaktualisasikan diri di ranah publik dan pada saat yang sama merasa rendah diri akan peran-peran domestik mereka. Dampak lanjutannya, lahir generasi tanpa bimbingan dan pengasuhan optimal para ibu.

Cara-cara di atas kemudian diperkuat oleh penyebarluasan tafsir liberal atas nash-nash syariat dengan dalih pembaharuan hukum Islam, yang antara lain dimotori LSM-LSM liberal tadi serta para intelektual dan ulama su’u yang sejatinya adalah antek asing yang bekerja dan dibayar demi kepentingan asing. Sebagaimana yang sudah disebut, kitab suci rujukan mereka pun berasal dari wahyu asing, bukan al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti kitab Deklarasi PBB tentang HAM, CEDAW, BPFA, MDGs, dan sebagainya.

Dari tangan mereka inilah lahir berbagai produk pemikiran Islam yang sangat sekuler namun diklaim bertujuan memajukan perempuan dan umat Islam. Salah satu diantaranya tercermin dalam draft CLD KHI yang digagas Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI pimpinan Musdah Mulia dan dirilis pada 4 Oktober 2004 di Jakarta. Jika dicermati, isi tandingan Kompilasi Hukum Islam ini betul-betul merupakan counter terhadap aturan-aturan yang masih menjadi pemahaman mainstream masyarakat Islam, semisal pasal yang menyatakan bahwa perkawinan bukan ibadah melainkan kontrak biasa, pernikahan beda agama boleh, perempuan boleh menjadi wali, poligami haram, dan lain-lain. Mereka mengklaim, bahwa aturan-aturan seperti inilah yang adil gender dan memuliakan perempuan.

Karena kontroversial, produk pemikiran yang prosesnya menelan biaya tak sedikit dari bantuan dana asing (The Asia Foundation) ini akhirnya dianulir oleh Menteri Agama saat itu (Maftuh Basuni) dengan keluarnya surat No : MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004. Namun sekalipun upaya ini nampak gagal, semangat liberalisasi dan sekularisasi mereka tetap hidup.

Hingga saat ini mereka terus berjuang untuk menjadikan akidah sekuler yang mereka yakini menjadi akidah yang juga diyakini umat Islam dan keluarga-keluarga kaum muslimin. Gerakan mereka bahkan melintasi batas-batas negara dan menjadi agenda bersama jaringan feminisme internasional. Gerakan ini diwujudkan -antara lain– dalam bentuk penyelenggaraan kongres-kongres berskala internasional. Terakhir di antaranya, Congress on Islamic Feminisme ke-3 di Barcelona pada 24 Oktober 2008 yang membahas “denounced Islamic family laws and other Shariah rules related to the woman and called for a re-interpretation based upon gender equality” dan Kongress Musawah, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara. Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan rekomendasi yang mengandung spirit sama dengan CLD KHI, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik, serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut’ah.

Apa yang menjadi tujuan semua konspirasi mereka sesungguhnya sangat jelas, yakni ingin merusak identitas keislaman kaum muslimin, menghapus militansi ideologis mereka dan melemahkan daya juang umat Islam. Dengan cara ini, target besar mereka akan terwujud, yakni menghambat gerakan mengembalikan Khilafah Islamiyah yang memang sudah menggejala di seluruh dunia. Terlebih, sebagaimana prediksi RAND Corporation (lembaga intelejen AS), ada kemungkinan pada tahun 2020 peta politik global disemarakkan dengan bangkitnya kekhilafahan baru. Karenanya, AS sebagai motor kapitalisme global sedini mungkin berupaya memperkecil kemungkinan tersebut dengan berbagai cara.

Apa Yang Harus Dilakukan?

Berdasarkan pencermatan terhadap faktor-faktor penyebab di atas, jelas, bahwa upaya liberalisasi berlangsung secara sangat sistematis, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak negara-negara kapitalis sebagai konspiratornya, para kapitalis sebagai penyandang dananya, sementara LSM liberal/gender dan pemerintah bertindak sebagai EO-nya. Maka upaya strategis yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai konspirasi asing dalam penghacuran keluarga muslim adalah mengajak umat untuk bersegera meninggalkan sistem liberal sekuler ini, dengan cara melakukan pencerdasan umat dengan Islam kaffah (ideologis). Targetnya adalah untuk membangun profil muslim/muslimah tangguh yang siap berjuang melakukan perubahan sistem.

Dalam konteks muslimah, pencerdasan diarahkan untuk membangun profil muslimah yang siap mencetak generasi pejuang, menjadi isteri salehah pendamping para pejuang sekaligus yang siap mengajak dan memimpin para muslimah untuk perubahan ke arah Islam. Pada saat yang sama, diupayakan pengokohan fungsi keluarga muslim, agar menjadi keluarga-keluarga yang tegak atas dasar ketaatan kepada Allah, menjadikan syari’at Islam sebagai standar sehingga setiap keluarga muslim mampu berfungsi sebagai mesjid, madrasah, rumahsakit, benteng pelindung dan kamp perjuangan yang siap melahirkan generasi pejuang dan pemimpin umat, yang berkualitas mujtahid sekaligus mujahid. Kesemuanya itu diarahkan untuk mewujudkan masyarakat taat syariat, dimana pemikiran, perasaan dan aturan masyarakatnya diikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, yakni Islam.

Adapun strategi yang dibutuhkan untuk meraih target ini tidak lain adalah dengan menggencarkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali muslimah. Hingga Islam dipahami secara utuh sebagai solusi masalah-masalah kehidupan mereka. Dengan cara ini, akan muncul para muslimah tangguh yang memiliki kecerdasan politik tinggi dan siap memperjuangkan Islam secara bersama-sama..

Tentu saja, upaya besar ini mengharuskan adanya sinergi dari semua komponen umat yang sudah sadar, khususnya dari kalangan simpul umat (para tokoh masyarakat), baik di tingkat grassrott, hingga tingkat atas. Di tangan merekalah tersimpan potensi perubahan, disamping terbeban tanggungjawab besar membawa umat ini meraih kemuliaan mereka kembali sebagai khoyru ummah.

Sesungguhnya, kewajiban memperjuangkan Islam adalah konsekuensi keimanan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Dan kita semua, tak akan bisa menghindar dari misi mulia ini, kecuali kita siap menghadapNya tanpa hujjah. Semoga, kita semua termasuk yang bisa kembali ke Haribaan-Nya dengan membawa hujjah yang nyata. Hingga di akhirat, kita layak bersanding dengan Rasulullah tercinta dan barisan para pejuang radhiyallahu anhum di sisinya. Amin.[][]